Kucing

kucing

Kenalkan, nama saya Kucing. Tiap hari berada di jalanan kota. Kadang pula di belakang rumah. Untuk beberapa saat, saya kerap berjalan-jalan di atas atap rumah. Atau kalau bosan, saya biasa bersembunyi di dalam rumah. Sesekali pula, saya ke terminal atau pasar. Kerja saya hanya mencari makan, tak lebih dan tak kurang.

Kemarin saya mejeng di atas atap rumah tetangga. Pemilik rumah awalnya tak melihat saya. Tapi, si bocah, anak si empu rumah ternyata punya pendengaran hebat. Jejak-jejakku menginjak genteng rumahnya, ditangkap baik oleh telinganya. Alhasil, aku disuruh turun.

Memang enak berada di atas atap. Melihat-lihat pemandangan bumi dari atas. Melihat manusia-manusia yang lalu lalang di jalan kota. Sibuk dengan urusannya sendiri. Pikirku, ada enaknya pula jadi kucing. Tak punya banyak urusan. Tak perlu pusing dengan utang. Tak ada ikatan apapun tentang cinta. Tak memiliki tanggungjawab terhadap keluarga. Apapun itu, hidup serasa bebas. Mau ke pasar, mejeng di terminal, mojok di atas atap, mengejar tikus, ataupun boker di sembarang tempat. Siapa peduli? Paling, si manusia itu lagi kembali yang bakal marah, kalau aku boker sembarang. Tapi, kembali lagi saya pikir, manusia memang gila urusan. Sampai-sampai boker makhluk tak sejenis-nya pun diurusin.

Saya suka makan ikan, tapi saya tak suka berada dekat pantai atau laut. Saya tak tahu, sejak kapan saya suka ikan. Selain ikan, saya melahap tikus. Walau tikus susah ditangkap, tapi saya bisa diandalkan untuk berburu tikus. Sekali tangkap, wah sensasi-nya ruarrr biassa… Sebenarnya, aku tak rela untuk memangsa tikus-tikus itu. Namun, karena memang tikus itu rese’, maka kesabaranku pasti akan jebol. Makanya jangan salah, film Tom and Jerry itu, memang benar adanya. Tikus emang rese’ sama kucing. Bukan sama kucing saja saya pikir. Dengan manusia pun demikian. Sarangnya dimana-mana. Di belakang meja kantor pak kades, di samping rak-rak buku pak lurah, di langit-langit masjid kampung, bahkan di tumpukan-tumpukan berkas pak menteri pun juga biasa ditemukan. Kalau di rumah majikan saya sih, yah biasanya di got-got depan rumah, yang penuh comberan itu.

Saya kucing yang tak pernah sekolah. Seandainya saya sekolah, saya pilih jurusan hukum saja. Tak tertarik untuk jadi dokter kucing. Soalnya pasti mahal sekali biaya masuknya. Saya pilih hukum karena saya kucing, yang jago tangkap tikus. Jika saya lulus dan punya ijazah sarjana hukum, saya pasti akan daftar diri untuk jadi calon ketua KPK. Sayangnya, saya tak punya ijazah apapun. Jadi mubazir saja jika mengajukan diri. Pikirku, apa relevansinya harus punya ijazah sebanyak-banyaknya untuk jadi ketua KPK? Toh, saya saja yang tak pernah sekolah ini dengan mudahnya nangkap tikus yang berseliweran di komplek rumah milik majikanku ini? Ya toh? Jadi, sekali lagi saya mau bilang: manusia itu aneh, ya? Aneh sekali! Jangan tersinggung jika anda adalah manusia. Ini hanya pikiran seorang (maksud saya: seekor) kucing. Jadi, saya harap anda juga mau belajar dari saya, dari seekor kucing ini!

8 thoughts on “Kucing

  1. memang ngak perlu sekolah yang tinggi dan gelar yang tersusun rapi untuk menangkap tikus2 tetapi cukup dengan keberanian yang besar,,dan Niat yang bagus hahahahahahaha

Tinggalkan Balasan ke Dika Batalkan balasan