Makanan dan Kenangan

Gaes, tahu tidak, selain tari-tarian, musik tradisional, dan aneka macam ritual, Tana Luwu juga mewariskan budaya kuliner yang beragam. Walau sudah semakin jarang, hingga kini kita masih bisa menemukan lanya-lanya, janda-janda, ataupun doko-doko sebagai kue tradisional khas Tana Luwu.

Kuliner adalah produk kebudayaan. Merepresentasikan selera, kreasi dan karya sebuah peradaban. Ia bisajadi sama dengan bangunan, rumah, atau candi-candi. Sama posisinya dengan lagu-lagu dan tari-tarian. Lahir dari rasa, dan perasaan. Ia seperti sebuah seni.

Kuliner tradisional merepresentasikan pengalaman lidah dalam mencerap rasa. Merepresentasikan karakter manusia. Dan merepresentasikan keanekaragaman sumberdaya alam sebuah daerah.

Seperti di daerah lain, kuliner-kuliner ini selalu didukung oleh limpahan komoditas lokal yang tumbuh subur di sepanjang Tana Luwu, seperti tepung sagu, gula aren, pohon kelapa dan buah pisang. Sumberdaya alam yang besar ini memantik kreatifitas leluhur kita mengolah aneka bahan tersebut menjadi penganan bercita rasa tinggi.

Sampai dengan zaman milenial hari ini, kue-kue ini masih terus abadi dan selalu dicari. Mengapa demikian? Itu karena sebagian besar lidah kita masih kuat sekali dengan romantisme. Kuliner tidak hanya perkara mengenyangkan perut semata, tetapi juga melibatkan perasaan dan kenangan atas kampung halaman, orangtua, kakek nenek hingga mungkin, bisa jadi sang mantan.

Oleh karena itu, menghidangkan sinole, pisang epe, atau onde-onde dalam satu pinggan, berarti pula menghidangkan sepiring kerinduan dan semangkuk kenangan.

Konon, Palopo itu adalah kuliner. Ketan putih yang dicocol kuah gula aren dan bersantan. Gurih. Manis. Gula aren yang manis simbol kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, sedangkan santan yang gurih adalah simbol kehidupan yang memberi manfaat dan bermakna kehormatan.

Tana Luwu banyak mewariskan kuliner berbahan dasar sagu. Kapurung, sinole, lanya, bagea, baruasa, dan lain-lain. Semua itu karena limpahan pohon sagu kita sejak dahulu kala. Catatan Gubernur Celebes tahun 1888 menuliskan Pelabuhan Palopo mengekspor 15.000 pikul sagu ke Singapura dan daerah lain di Nusantara.

Siapa sangka, lanya-lanya dan sinole juga menjadi saksi perjuangan manusia-manusia Luwu. Andi Djemma beserta kerabat istana yang gerilya hingga ke Benteng Batuputih, Kolaka, menjadikan penganan ini sebagai logistik andalan. Sedangkan balla-balla menjadi pengganjal perut bagi gerombolan pasukan DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar. Kisah 3 jenis makanan ini dapat kita baca di Novel Jatuhnya Benteng Batuputih & Novel Kota Palopo yang Terbakar. Dua-duanya karya Mustari Yusuf.

Kuliner adalah sebuah proses seni. Terdapat unit khusus terkait urusan dapur dan layanan rumah tangga di istana. Namanya Anreguru Pampawaepu.

Jamuan makan istana yang disebut matoana, penuh dengan ritus budaya. Di dalamnya ada lakka (bosara besar) yang diantar oleh anadara. Juga biasanya ada suguhan pajjaga. Prosesi makan-makan ala istana ini penuh makna. Sopan santun dan keadaban. Seperti table manner yang diajarkan di kelas-kelas sekolah pariwisata.

Riwayat kuliner Luwu memang bukan semata-mata prihal tentang mengenyangkan, tapi juga tentang kenangan.

Tinggalkan komentar