Palopo Dalam Buku

Dalam sebuah sesi diskusi di acara bedah buku, saya menyampaikan bahwa orang Palopo itu tidak terlalu familiar dengan budaya tulis menulis. Olehnya itu, kita amat langka mendapatkan karya-karya monumental dari penulis-penulis Palopo.

I La Galigo sendiri, walaupun hampir seluruhnya mengisahkan tentang Luwu, ia diwariskan turun menurun melalui budaya tutur. Beruntunglah ada Arung Pancana Toa menyalinkan kisah-kisah itu kemudian.

Di dalam struktur Kedatuan Luwu sendiri, tidak ada perangkat adat, lembaga atau biro khusus dalam penulisan naskah-naskah dan pendokumentasian arsip-arsip kerajaan. Yang ada hanya Opu Pabbicara, tidak ada Opu Parruki. Sependek pengetahuan saya, satu-satunya naskah Kerajaan Luwu yang dapat kita baca hanya Lontara Akkarungeng. Itupun isinya hanya kronik, atau silsilah keluarga kerajaan. Tidak ada yang detail mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting seperti Lontara Bilang-nya Gowa, yang menuliskan tanggal peristiwa beserta tokoh dan tempat-tempat penting terkait penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan Gowa.

Namun demikian, Luwu sendiri beruntung karena sempat dibuatkan sebuah ‘profil’ kerajaan oleh Gubernur Celebes, DF Van Braam Morris. Laporan bertarikh 14 Juli 1888 ini bisajadi satu-satunya yang mendeskripsikan Luwu secara lengkap, mulai dari sejarah, negeri, penduduk dan pemerintahan Kerajaan Luwu pada periode kolonial atau abad 18. Laporan yang diterjemahkan HAM Mappasanda dari catatan Morris ini kemudian diterbitkan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan tahun 1992 dan diterbitkan ulang oleh Toaccae Publishing pada 2007.

Sampai dengan periode kemerdekaan, buku dengan konten Palopo ataupun Luwu masih sangat minim kita jumpai. Yang sangat ‘legend’ adalah Luwu Dalam Revolusi, karya Sanusi Daeng Mattata. Buku ini terbit perdana dengan cetakan masih menggunakan mesin tik. IPMIL di bawah kepengurusan @abubakar dan Penerbit Bhakti Baru kemudian mencetak dan menerbitkan ulang pada tahun 1967 dengan tebal sekitar 586 halaman.

Buku Luwu Dalam Revolusi ini adalah referensi paling utuh yang memotret sepak terjang patriot-patriot Luwu dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Daeng Mattata sendiri sebagai penulis adalah Sekretaris Datu Luwu Andi Djemma kala itu adalah first hand story teller, yang ikut terlibat aktif dalam revolusi 45. Selain itu, Daeng Mattata juga mengantar buku ini dengan deskripsi terkait sejarah dan budaya Luwu.

Buku tentang Palopo lainnya yang pernah saya baca adalah tentang Perang Luwu (Perang Loewoe) yang ditulis oleh Manai Sophiaan. Buku yang tidak terlalu tebal ini mengisahkan Andi Tadda dan Opu To Sappaile yang terlibat dalam perlawanan di Ponjalae, dan beberapa kisah pendaratan Belanda di Balandai. Nama-nama penulis lain yang sempat menerbitkan bukunya adalah Sarita Pawiloy, Lahadji Patang dan Amrah DM.

Buku-buku yang terbit ini dominan berupa teks-teks sejarah. Lain daripada itu, yang menarik menurut saya adalah novel-novel fiksi yang terbit pada zaman orde baru. Yang masih bisa kita nikmati adalah Novel Kota Palopo Yang Terbakar yang terbit 1969, dan Novel Jatuhnya Benteng Batuputih yang terbit 1979. Judul yang pertama bahkan menjadi pemenang Sayembara Mengarang UNESCO-IKAPI. Walau terbit di Bandung, dua karya Musytari Yusuf ini mampu mencitrakan situasi Kota Palopo dan sekitarnya tahun 1946 dan 1956.

Pasca periode Sanusi & Musytari, ruang kosong penerbitan karya-karya tulis berkonten lokal sepertinya terjadi. Kita baru menemukan kembali karya pengarang-pengarang Palopo pada era 2000. Pada periode ini muncul nama-nama baru seperti Idwar Anwar, Sharma Hadeyang, Andi Mattingaragau Tenrigau, Irfan Mahmud dan Iwan Sumantri. Tema yang muncul masih mengangkat teks-teks Luwu yang diyakini masih punya banyak ‘misteri’ untuk dituliskan.

Idwar Anwar relatif lebih produktif dengan menulis novel yang diadopsi dari I La Galigo. Bersamaan dengan itu, ia juga mulai mengembangkan sastra sekolah melalui penerbitan antologi cerpen karya siswa-siswi sebuah sekolah menengah kejuruan di Palopo.

Waktu berjalan dan Palopo berkembang lebih baik, sehingga muncullah gelombang literasi berikutnya yang didorong oleh penulis-penulis milenial seperti Haeril Al-Fajri, Ummu Kalsum, Afrianto, Surahman, Rizal Mutahari, Muhammad Nursaleh dan Rais Laode Sabania. Karya-karya non fiksi mereka pun relatif kian beragam dari sisi tema dan gaya.

Paralel dengan itu, industri penerbitan pun kini mulai berkembang seiring makin tumbuhnya talenta penulis muda. Saya melihat, yang paling agresif tahun ini adalah Penerbit Akalanka milik @Isnul. Penerbit yang berbasis di bilangan Merdeka ini bahkan menargetkan tiap bulan akan menerbitkan 1 buku karya penulis lokal.

Melihat semangat dan perkembangan dunia literasi yang semakin membaik ini, kita tentu bersyukur. Ada harapan besar dalam momentum hari buku nasional hari ini. Tumbuhnya pemikiran yang kritis dan memberi alternatif, lahirnya sastrawan kreatif nan bercitarasa tinggi, serta berkembangnya literasi warga yang semakin luas adalah kabar baik bagi kota ini.

Ke depan, kita tidak akan kehilangan referensi, sejarah dan identitas bagi Palopo. Karena, ia akan diabadikan dalam lembar-lembar buku, karya dari penulis-penulis lokal. Baik berbentuk konvensional, maupun virtual.

Akhirnya, argumentasi tentang kurang familiar-nya kita dengan buku dan budaya tulis menulis, hari ini bisa mulai kita koreksi.

Tapi ngomong-ngomong, bukankah menulis status Facebook seperti ini juga sudah menjadi budaya tulis menulis? Entahlah…

Djie Adjeng, 1895-1966

Orang-orang keturunan Tiongkok, memiliki ruang tersendiri dalam perjalanan sejarah Kota Palopo. Salahsatu tokoh penting yang sempat ditulis oleh sejarah adalah Djie Adjeng.

Lahir di Kai Ping tahun 1895, Djie Adjeng mulai menetap di nusantara pada 1913 ketika Tiongkok diliputi kondisi yang tidak menentu. Ia tiba di Palopo pada tahun 1917.

Seiring dengan politik etis Pemerintah Hindia Belanda yang mulai menata wilayah-wilayah jajahannya, Palopo juga mulai mendapat sentuhan pembangunan. Melihat peluang tersebut, Djie Adjeng yang memiliki latar belakang keterampilan teknik konstruksi bangunan, membangun sebuah pabrik batu bata pertama di Palopo. Pabrik bata milik Djie berada di Sabbamparu, konon lokasinya di sekitar depan bekas Bioskop Muda – Jalan Dr. Ratulangi.

Pada tahun 1920, Djie Adjeng terlibat aktif dalam pembangunan Rumah Sakit Palopo (kini ditempati sebagai Kantor Wali Kota Palopo sementara). Di tahun 1925, ia membangun beberapa rumah milik saudagar Bugis terkenal saat itu, Daeng Tallesang.

Sebagai Aannemer pada zaman kolonial di Tana Luwu, karya-karya Djie terentang mulai dari Buriko hingga Malili. Dikisahkan oleh Djie Wang Gip (Onggip) anak kandung Djie Adjeng, sejak 1930, ayahnya membangun jembatan tua Larompong dan Salutubu. Selain itu, karya konstruksinya yang lain adalah bangunan pintu air Batusitanduk, Pompalangi Kaluku Ketulungan, dan Rantedamai. Bersamaan dengan mulainya kolonisasi/transmigrasi Bonebone/Ketulungan, pada 1939 Djie Adjeng juga membangun Bendungan Karangan di Bonebone.

Pada era pendudukan Jepang, Djie mengerjakan disain pembangunan pabrik penggergajian kayu (sawmil) di daerah Tappong. Pabrik ini milik perusahan Jepang, Nisannoring yang kemudian hari dinasionalisasi menjadi Perusahaan Kebangunan Indonesia (Kebin). Perusahaan ini dipimpin oleh Tuan Zumitshu dan Andi Hamid Opu Daeng Paonang (Opu Onang-salahseorang bangsawan Luwu). Pada era Jepang pula, tahun 1944 Djie mendapat instruksi untuk mulai menata Permandian Air Panas Makula di Tana Toraja.

Pascakemerdekaan, proses peralihan kekuasaan diwarnai ketidakpastian keamanan di wilayah Tana Luwu. Tahun 1954, Djie memperbaiki Jembatan Miring di daerah perbatasan Karetan. Pada 1956, ia juga dipercaya untuk memperbaharui jaringan air ledeng yang sudah dirintis oleh Belanda sejak 1939.

Warisan Djie Adjeng untuk Palopo tidak sekadar bangunan dan infrastruktur fisik semata. Kisah hidupnya juga meninggalkan cerita perjuangan. Ia turut andil dalam membantu para tahanan perang di Rutan Masamba pasca peristiwa Masamba Affair 1949. Semangat nasionalismenya tampaknya lahir sejak ia menikahi wanita asal Duri (Enrekang) dan menetap lama di Pararra (Sabbang).

Djie Adjeng wafat pada 29 Mei 1966. Ia dimakamkan di Pekuburan Tionghoa Palopo. Nisannya tetap berdiri kokoh di atas bukit menatap hamparan Kota Palopo—kota dimana karya-karyanya masih eksis menjadi artefak kota.

#imlek #tiongkok #palopo #sejarahkota

Palopo, 16 Februari 2018

Resensi Buku Kartini dari Tana Luwu

Buku Hj Siti Ziarah MakkajarengBuku “Hajjah Siti Ziarah Makkajareng: Kartini dari Tana Luwu (Pejuang Pendidikan dan Pemerhati Perempuan)” karya Ria Warda ini membagi tiga poin besar mengenai kisah Siti Ziarah Makkajareng. Bagian pertama adalah tentang latar belakang keluarga, kemudian sepak terjang dan pemikiran, serta bagian terakhir adalah mengenai kepemimpinan Ziarah.

Siti Ziarah Makkajareng adalah tokoh pendidikan Tana Luwu yang sangat sentral perannya. Ia menjadi sangat menarik untuk diulas karena merupakan perempuan yang secara konsisten mengabdikan dirinya memamujukan pendidikan di Palopo dan Tana Luwu secara umum. Di tengah hegemoni peran laki-laki pada zamannya, ia tampil dengan ide-ide pembaruan khususnya dalam pendidikan yang inklusif, yakni memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi perempuan Tana Luwu.

Terlahir dari keluarga bangsawan Luwu, Ziarah memilih untuk lebih egaliter dengan membangun kehidupan sosial yang tanpa jarak dengan siapa saja. Bapaknya adalah Andi Makkajareng Opu Tosessu dan ibunya adalah Andi Mudhara Opu Daengnna Maddutana. Namun demikian, ia memilih menghilangkan gelar “Andi” di depan namanya. Ziarah kecil belajar mengaji dari KH Daud dan banyak menimba ilmu agama dari KH Hasyim yang kedua-duanya merupakan sahabat bapaknya. Setelah lulus SGAI, Ziarah menimba ilmu di Yogyakarta dan mendapatkan gelar kesarjanaannya dari IAIN Sunan Kalijaga. Gelar “Doktoranda” yang diraihnya sekaligus menjadikan dirinya sebagai perempuan sarjana pertama di Tana Luwu pada akhir tahun 60-an. Dari gelar inilah kemudian, panggilan Opu Anda melekat kepada Ziarah, yang merupakan kependekan kata Doktoranda.

Sepak terjang Ziarah dalam buku ini diulas dalam beberapa bab yang keseluruhannya hingga mencapai 82 halaman. Bagian ini merupakan pembahasan paling banyak dalam struktur buku ini. Sepak terjang Ziarah dideskripsikan oleh penulisnya mulai dari merintis taman pendidikan Alquran, taman kanak-kanak, sekolah kejuruan (SKKA) hingga perguruan tinggi pertama di Tana Luwu, bahkan sampai kiprah Ziarah di legislatif. Dari uraian-uraian yang digambarkan di buku ini, kita dapat merasakan perjuangan Ziarah bersama para tokoh lainnya saat awal-awal merintis sejumlah institusi pendidikan penting di Kota Palopo.

Kepemimpinan Ziarah diungkap di bab-bab akhir buku ini. Ia digambarkan sebagai seorang demokrat yang karismatik. Ziarah merupakan tipikal pemimpin yang mengambil keputusan melalui diskusi dan musyawarah, mengutamakan kerja sama dan pembangun tim yang baik. Ia memiliki visi yang konkrit dan kemampuan komunikasi yang baik. Oleh karena kemampuan itu, ia memiliki wibawa dan daya tarik yang kuat bagi orang-orang yang ditemuinya.

Diperkaya dengan cerita-cerita seputar pembangunan Palopo dan Tana Luwu di zaman orde baru, buku ini memberi kita informasi mengenai tokoh-tokoh sentral dalam dakwah Islamiah dan pengembangan pendidikan di daerah ini. Di buku ini, gambaran latar kejadian di balik perjalanan dakwah modern dan pendidikan di Palopo mendapat ruang yang besar. Gambaran tersebut merupakan sudut pandang orang pertama yang memang menjadi pelaku sejarah dan orang-orang terdekat Ziarah. Itulah yang menjadi salah satu keunggulan buku ini, kaya akan ‘ceritad dari orang pertama’ atau memaparkan data primer dari narasumber yang tepat.

Buku setebal 196+xxiv ini diterbitkan oleh CV Mitra Mandiri Persada – Surabaya tahun 2015 lalu. Buku ini memiliki catatan kaki (footnotes) hingga 277 buah yang memberikan informasi yang lebih detail, sekaligus memberikan ketidaknyamanan bagi pembacanya. Kekurangan lain dari buku ini adalah tidak adanya komparasi antara sepak terjang Ziarah dengan pokok-pokok pemikirannya. Hal ini disebabkan karena penulis mengalami kesulitan mendapat dokumentasi tulisan-tulisan Ziarah selama menjadi akademisi. Terlepas dari kekurangan tersebut, mengasosiakan Siti Ziarah Makkajareng dengan Kartini tidaklah berlebihan. Kedua tokoh ini, baik Kartini maupun Ziarah, sama-sama memperjuangkan perempuan dan pendidikan pada zamannya.

Dari kisah Ziarah di buku ini, kita bisa mengambil pesan positif mengenai pembangunan sumber daya manusia yang harus dibangun melalui lembaga pendidikan dan lembaga keluarga (dimana ibu atau perempuan menjadi kuncinya). Buku ini menjadi penting dibaca oleh tenaga pendidik atau akademisi, para muballig dan muballigah, pemerhati perempuan, para pelajar dan mahasiswa, sejarawan, bahkan warga Tana Luwu secara umum. (zhf)

Mengapa 21 Januari 1268 Menjadi Hari Jadi Luwu?

Lambang Kedatuan Luwu (doc) - CopyJati diri sebuah masyarakat selalu dilihat dari latar belakang sejarahnya. Kita patut bersyukur karena jati diri masyarakat Luwu dapat ditelusuri oleh sejumlah pakar. Penelusuran paling monumental adalah penetapan Hari Jadi Luwu. Angka 1268 didapat, dan 21 Januari ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Luwu Nomor 17 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Jadi Luwu.

Dokumen Perda inilah yang mendasari perayaan Hari Jadi Luwu (HJL) tiap tahunnya kita gelar. Adalah Ikatan Profesi Dosen Kerukunan Keluarga Luwu (IPD-KKL) yang menginisiasi penelusuran kejadian Luwu ini. Atas direktif Bupati HM Yunus Bandu saat itu, maka Ketua Umum IPD-KKL kala itu, Prof AS Achmad, mulai mengumpulkan informasi dan data faktual yang dapat dijadikan rujukan menurut prinsip-prinsip ilmu sejarah, walaupun disadari hal itu tentu sangat terbatas keberadaannya. IPD-KKL juga melakukan konsultasi dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten. Temuan awal kemudian didiskusikan dalam sebuah forum pada tanggal 29 Mei 1994 di Restoran Pualam Ujung Pandang. Di forum awal tersebut, hadir beberapa pakar sejarah dan budayawan, sesepuh dan tokoh masyarakat Tana Luwu.

Pasca forum diskusi tersebut, kajian mengenai Hari Jadi Luwu ini kemudian menemukan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1. Tahun ‘Hari Jadi’ pemerintahan di Luwu adalah pada masa pemerintahan Simpurusiang. Jastifikasinya adalah hampir seluruh catatan sejarah yang absah mengngkapkan bahwa Kerajaan Luwu pada masa itu, menurut konsepsi politik modern, telah memiliki wilayah yang nyata, rakyat yang kongkrit, pemerintahan (raja) yang berdaulat dan adanya hubungan dengan dunia luar yang lain yang mapan.
2. Bulan ‘Hari Jadi’ mengacu kepada bulan terjadinya suatu peristiwa besar dan penting di masa yang lalu dan amat mempengaruhi pandangan hidup rakyatnya, bersifat populis dan mempersatukan serta mengandung motivasi yang kuat bagi masyakat membangun daerahnya.
3. Tanggal ‘Hari Jadi’ merujuk kepada tanggal peristiwa yang dipandang paling bersejarah, membangkitkan rasa kebanggaan bagi semua dan diterima oleh segala lapisan masyarakat (semua orang Luwu).

Penelusuran kemudian dilakukan ke dalam suatu forum ilmiah yang lebih luas, yakni dalam sebuah Tudang Ade’ yang digelar di Aula Simpurusiang Palopo tanggal 13 Agustus 1994 untuk mengkrongkritkan tanggal, bulan dan tahun dari Hari Jadi Luwu. Dalam Tudang Ade’ itu dihadirkan beberapa pemakalah antara lain: Prof Mr Dr H Andi Zainal Abidin (Mantan Rektor Universitas 45 Ujung Pandang), Prof Dr HA Mattulada (Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin), Prof Dr Abu Hamid (Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin), Drs HD Mangemba (Pakar Budaya Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin), Dr Edward L Poelinggomang (Pakar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin), Drs Sarita Pawiloy (Dosen Pendidikan Sejarah IKIP Ujung Pandang) dan Anthon Andi Pangerang (Budayawan Luwu).

Hasilnya, bahwa berdasar konsepsi ilmu politik modern tersebut di atas, maka pangkal tolak menentukan tahun lahirnya Luwu bermula pada waktu masuknya Islam di Luwu yakni tahun 1593. Dari tahun ini kemudian dihitung mundur 13 Raja yang pernah berkuasa sampai masa Raja Simpurusiang. Dengan asumsi 1 Raja masing-masing memiliki periode 25 tahun, maka ditemukanlah angka 1268 sebagai awal mula tahun kejadian Luwu. Angka 21 Januari kemudian dipilih sebagai Tanggal dan Bulan Jadi Luwu karena mengacu pada tanggal dan bulan yang bernilai sejarah dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI. Tanggal dan bulan tersebut adalah waktu pemberian ultimatum kepada Tentara Sekutu sebelum pecahnya Perlawanan Semesta Rakyat Luwu (23 Januari 1946).

Demikianlah Hari Jadi Luwu ini kemudian ditetapkan melalui Perda pada tanggal 29 November 1994, dan kita mulai merayakan setiap tahunnya. Menurut Prof AS Achmad, Hari Jadi Luwu ini akan membantu kita untuk lebih mengenal akan diri kita sendiri dengan lebih baik, mengenal akan kenyataan yang menyelimuti Luwu, mengenai hakikat dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Peringatan Hari Jadi Luwu mengandung motivasi untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Dirgahayu Ke 747 Tana Luwu…

Opsal, Opu To Sappaile

Mungkin kita hanya mengenal Opsal atau Opu To Sappaile hanya sekadar nama pusat perbelanjaan dan sebagai salahsatu nama jalan protokol di Kota Palopo. Berangkat dari pesan Bung Karno untuk tidak melupakan sejarah, maka pada tempatnyalah kita lebih mengenal sosok Opu To Sappaile. Peran Opu To Sappaile dalam Perang Luwu sangatlah penting.

Opu To Sappaile sebenarnya bernama asli Andi Baso Lempulle. Ia lahir sekitar tahun 1870 dan merupakan putra dari Andi Tadda Opu Pabbicara Pawelae Ponjalae. Ketika perang 11 September 1905 berakhir, Andi Baso bebas dari tuntutan Belanda. Ia diangkat menjadi Opu Patunru sebagai penghormatan kerajaan terhadap ayahnya, Andi Tadda.

Dua tahun setelah pendudukan Belanda di Luwu, sekitar tahun 1908 ia melamar Datu Luwu, Andi Kambo Opu Daeng Risompa yang berkuasa sejak tahun 1901. Kala itu Andi Kambo telah menjanda.

Opu To Sappaile banyak berperan dalam perjuangan Haji Hasan. Beberapa orang mengatakan bahwa pemberontakan Haji Hasan terjadi akibat perintah Opu To Sappaike. Kegagalan yang dialami oleh Belanda dalam menangkap Haji Hasan, juga diakibatkan karena adanya pemberitahuan dari  Andi Baso Lempulle kepada  Haji Hasan sebelum Belanda melakukan penyerangan.

Semua kecurigaan Belanda atas peran Opu To Sappaile dalam membantu perlawanan Haji Hasan diperkuat dengan ditemukannya keris milik Datu Luwu yang digunakan oleh Haji Hasan. Karenanya, setelah Haji Hasan meninggal di penjara Palopo, Andi Baso Lempulle kemudian dipanggil menghadap Assistant Resident Boer. Saat menghadap, ia lalu ditanya tentang kebenaran keris milik Datu Luwu yang dipakai oleh Haji Hasan dalam pemberontakannya melawan Belanda.

Tanpa berbelit-belit, Andi Baso Lemppulle pun membenarkan ucapan Boer. Saat Boer bertanya mengenai mengapa keris itu berada di tangan Haji Hasan, Opu Tosappaile  kembali menjawab dengan tenang. Ia  mengatakan bahwa sebelum belanda datang ke Luwu, keris itu memang biasa dipinjam Haji Hasan.

Berbagai pertanyaan dan tudingan terus diajukan kepada Andi Baso Lempulle untuk untuk menyudutkannya. Di antaranya juga tentang tuduhan bahwa perang Topoka dan Pemberontakan Pong Simpin adalah dibawa komando Opu To Sappaile. Namun semua pertanyaan dan tudingan tersebut berhasil dijawab dengan tepat dan tenang. Karenanya, Boer tak dapat memasukkan Opu Tosappaile ke penjara sebagai orang bersalah.

Akan tetapi, akibat hasutan dan fitnah orang-orang yang iri hati kepadanya , maka ia pun harus rela menjalani pembuangan. Para pengkhianat tersebut menyatakan kepada Boer, bahwa Opu To Sappaile adalah orang yang pandai bicara. Dan jika hanya ditanya dengan berbagai tuduhan, ia pasti mampu menjawabnya dengan baik. Dengan jawaban dan cara menjawab yang tenang, maka ia pasti tidak dapat disalahkan. Karenanya, Andi Baso Lemppulle tidak usah diperiksa, sebab selama ini banyak orang yang melihat bahwa Opu To Sappaile selalu bertemu dengan Haji Hasan di muka mesjid jika selesai salat Magrib atau Isa.

Sekitar tahun 1915, atas hasutan para pengkhianat, Andi Baso Lempulle Opu To Sappaile kemudian dijatuhi hukuman pembuangan ke Jawa bersama beberapa pejuang lainnya oleh Belanda. Pembuangan itu terjadi pada tahun kisaran tahun 1910-1918. Adapun mereka yang dibuang ketika itu antara lain adalah Andi Baso Lemppulle, Andi Mangile Palempang  Suli (anak Opu To Sappaile), Andi Jusuf Opu Tosibenggareng, Andi Renreng Opu Toppemanu (anak Opu To Sappile), Opu Tomusu, Lopi Pong Timbang, Sempo, Pong Simpin, Opu To Parombeang, Opu Tolane, Andi Pandangai Opu Daeng Tallesang.

Di antara mereka yang dibuang tersebut, beberapa diantaranya masih dapat kembali ke Luwu, seperti Andi Yusuf Opu Tosibenggareng, Andi Pandangai Opu Daeng Tallesang dan Sempo. Dalam pembuangannya  tersebut Opu Tosappaile sempat menikah dengan wanita suku Jawa dan Mempunyai keturunan.