Dalam sebuah sesi diskusi di acara bedah buku, saya menyampaikan bahwa orang Palopo itu tidak terlalu familiar dengan budaya tulis menulis. Olehnya itu, kita amat langka mendapatkan karya-karya monumental dari penulis-penulis Palopo.
I La Galigo sendiri, walaupun hampir seluruhnya mengisahkan tentang Luwu, ia diwariskan turun menurun melalui budaya tutur. Beruntunglah ada Arung Pancana Toa menyalinkan kisah-kisah itu kemudian.
Di dalam struktur Kedatuan Luwu sendiri, tidak ada perangkat adat, lembaga atau biro khusus dalam penulisan naskah-naskah dan pendokumentasian arsip-arsip kerajaan. Yang ada hanya Opu Pabbicara, tidak ada Opu Parruki. Sependek pengetahuan saya, satu-satunya naskah Kerajaan Luwu yang dapat kita baca hanya Lontara Akkarungeng. Itupun isinya hanya kronik, atau silsilah keluarga kerajaan. Tidak ada yang detail mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting seperti Lontara Bilang-nya Gowa, yang menuliskan tanggal peristiwa beserta tokoh dan tempat-tempat penting terkait penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan Gowa.
Namun demikian, Luwu sendiri beruntung karena sempat dibuatkan sebuah ‘profil’ kerajaan oleh Gubernur Celebes, DF Van Braam Morris. Laporan bertarikh 14 Juli 1888 ini bisajadi satu-satunya yang mendeskripsikan Luwu secara lengkap, mulai dari sejarah, negeri, penduduk dan pemerintahan Kerajaan Luwu pada periode kolonial atau abad 18. Laporan yang diterjemahkan HAM Mappasanda dari catatan Morris ini kemudian diterbitkan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan tahun 1992 dan diterbitkan ulang oleh Toaccae Publishing pada 2007.
Sampai dengan periode kemerdekaan, buku dengan konten Palopo ataupun Luwu masih sangat minim kita jumpai. Yang sangat ‘legend’ adalah Luwu Dalam Revolusi, karya Sanusi Daeng Mattata. Buku ini terbit perdana dengan cetakan masih menggunakan mesin tik. IPMIL di bawah kepengurusan @abubakar dan Penerbit Bhakti Baru kemudian mencetak dan menerbitkan ulang pada tahun 1967 dengan tebal sekitar 586 halaman.
Buku Luwu Dalam Revolusi ini adalah referensi paling utuh yang memotret sepak terjang patriot-patriot Luwu dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Daeng Mattata sendiri sebagai penulis adalah Sekretaris Datu Luwu Andi Djemma kala itu adalah first hand story teller, yang ikut terlibat aktif dalam revolusi 45. Selain itu, Daeng Mattata juga mengantar buku ini dengan deskripsi terkait sejarah dan budaya Luwu.
Buku tentang Palopo lainnya yang pernah saya baca adalah tentang Perang Luwu (Perang Loewoe) yang ditulis oleh Manai Sophiaan. Buku yang tidak terlalu tebal ini mengisahkan Andi Tadda dan Opu To Sappaile yang terlibat dalam perlawanan di Ponjalae, dan beberapa kisah pendaratan Belanda di Balandai. Nama-nama penulis lain yang sempat menerbitkan bukunya adalah Sarita Pawiloy, Lahadji Patang dan Amrah DM.
Buku-buku yang terbit ini dominan berupa teks-teks sejarah. Lain daripada itu, yang menarik menurut saya adalah novel-novel fiksi yang terbit pada zaman orde baru. Yang masih bisa kita nikmati adalah Novel Kota Palopo Yang Terbakar yang terbit 1969, dan Novel Jatuhnya Benteng Batuputih yang terbit 1979. Judul yang pertama bahkan menjadi pemenang Sayembara Mengarang UNESCO-IKAPI. Walau terbit di Bandung, dua karya Musytari Yusuf ini mampu mencitrakan situasi Kota Palopo dan sekitarnya tahun 1946 dan 1956.
Pasca periode Sanusi & Musytari, ruang kosong penerbitan karya-karya tulis berkonten lokal sepertinya terjadi. Kita baru menemukan kembali karya pengarang-pengarang Palopo pada era 2000. Pada periode ini muncul nama-nama baru seperti Idwar Anwar, Sharma Hadeyang, Andi Mattingaragau Tenrigau, Irfan Mahmud dan Iwan Sumantri. Tema yang muncul masih mengangkat teks-teks Luwu yang diyakini masih punya banyak ‘misteri’ untuk dituliskan.
Idwar Anwar relatif lebih produktif dengan menulis novel yang diadopsi dari I La Galigo. Bersamaan dengan itu, ia juga mulai mengembangkan sastra sekolah melalui penerbitan antologi cerpen karya siswa-siswi sebuah sekolah menengah kejuruan di Palopo.
Waktu berjalan dan Palopo berkembang lebih baik, sehingga muncullah gelombang literasi berikutnya yang didorong oleh penulis-penulis milenial seperti Haeril Al-Fajri, Ummu Kalsum, Afrianto, Surahman, Rizal Mutahari, Muhammad Nursaleh dan Rais Laode Sabania. Karya-karya non fiksi mereka pun relatif kian beragam dari sisi tema dan gaya.
Paralel dengan itu, industri penerbitan pun kini mulai berkembang seiring makin tumbuhnya talenta penulis muda. Saya melihat, yang paling agresif tahun ini adalah Penerbit Akalanka milik @Isnul. Penerbit yang berbasis di bilangan Merdeka ini bahkan menargetkan tiap bulan akan menerbitkan 1 buku karya penulis lokal.
Melihat semangat dan perkembangan dunia literasi yang semakin membaik ini, kita tentu bersyukur. Ada harapan besar dalam momentum hari buku nasional hari ini. Tumbuhnya pemikiran yang kritis dan memberi alternatif, lahirnya sastrawan kreatif nan bercitarasa tinggi, serta berkembangnya literasi warga yang semakin luas adalah kabar baik bagi kota ini.
Ke depan, kita tidak akan kehilangan referensi, sejarah dan identitas bagi Palopo. Karena, ia akan diabadikan dalam lembar-lembar buku, karya dari penulis-penulis lokal. Baik berbentuk konvensional, maupun virtual.
Akhirnya, argumentasi tentang kurang familiar-nya kita dengan buku dan budaya tulis menulis, hari ini bisa mulai kita koreksi.
Tapi ngomong-ngomong, bukankah menulis status Facebook seperti ini juga sudah menjadi budaya tulis menulis? Entahlah…