Kebudayaan sagu memang telah merentang panjang sejarahnya. Di Tana Luwu sagu disebut tawaro atau tabaro. Di Jawa, orang menyebut nasi sebagai ‘sego’ yang awalnya adalah sagu. Demikian pula orang Sunda jika menyebut nasi sebagai ‘sangu’, yang juga berawal dari sagu. Bahkan, di relief Candi Borobudur pun, konon pohon sagu pun ikut digambarkan.
Sejak dahulu, Tana Luwu memiliki lahan pertanian yang luas. Namun demikian, perhatian terhadap lapangan pekerjaan di sektor pertanian tidak begitu diseriusi, khususnya dalam menanam padi dan jagung. Hal ini diakibatkan karena Tana Luwu ditumbuhi oleh banyaknya tanaman sagu. Masyarakat umum di Tana Luwu menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Padi saat itu menjadi makanan ekslusif bagi keluarga-keluarga pembesar.
Sagu juga menjadi salah satu alasan perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ke Pattimang, Malangke. Bulbeck et al (2006) menuliskan hipotesisnya bahwa salah satu faktor yang mendorong pemindahan ibukota kerajaan Luwu ke Pattimang adalah karena potensi agrikultur bagi produk sagu di daerah tersebut. Menurutnya, daerah Pattimang akan menjadi daerah kosmopolit dengan populasi penduduk yang besar. Diperkirakan oleh Sumantri et al (2006), pada abad XVI penduduk Pattimang mencapai 14.500 jiwa. Dengan demikian maka kebutuhan atau permintaan sagu juga besar. Oleh karena itu, menurut Bulbeck, daerah Pattimang tersebut dinilai mampu menyuplai kebutuhan sagu warga ibukota Kerajaan Luwu tersebut.
Dari fakta tersebut, selain menegaskan bahwa saat itu makanan pokok masyarakat Luwu adalah sagu, hal lain yang dapat menjadi perhatian adalah bahwa komoditas sagu merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam Tana Luwu selain rotan, madu, lilin, damar dan kayu yang merupakan sumber penghasilan yang (sepertinya) tidak pernah habis (Sarjiyanto, 2000).
Sagu menjadi komoditas andalan Tana Luwu zaman dahulu kala. Data Gubernur Celebes pada tahun 1888, pelabuhan Palopo mencatatkan ekspor sagu kurang lebih sebanyak 15.000 pikul.
Dalam laporan Braam Morris (1888), tujuan ekspor komoditas sagu Luwu salah satunya adalah ke Singapura. Perdagangan sagu ini dilakukan oleh orang-orang Arab, Cina, Makassar dan Bugis. Kapal-kapal mereka berasal dari Singapura, Pontianak, Wajo dan Makassar. Mulai tahun 1886, produksi sagu dan komoditas lainnya mengalami peningkatan. Jumlah kapal yang berlabuh di Palopo pun meningkat dari 7 kapal per tahun, menjadi 12 kapal per tahun.
Selain memasok tepung sagu, masyarakat Luwu saat itu juga mengolah sagu menjadi barang kerajinan, seperti atap rumbia dan keranjang dari pelepah pohon sagu.
Kebiasaan mengolah dan memiliki kekayaan sumber daya sagu di Tana Luwu juga menurunkan produk budaya berupa sambe. Alat atau perkakas ini berbentuk mirip kapak yang digunakan saat menghancurkan isi batang sagu. Kegiatan mengolah atau memproduksi tepung sagu sendiri disebut massambe. Menurut Anwar (2007), dengan melihat bentuk dan cara pembuatan, sambe sendiri kemungkinan besar merupakan turunan dari budaya teknologi neolitik. Kemiripan tersebut dapat dilihat dari segi bentuk alu, gagang, serta cara dan model ikatan.
Selain sambe, hadir pula balabba atau balebbe, sebagai salah satu turunan kebudayaan sagu Tana Luwu. Balabba adalah anyaman dari daun sagu berbentuk tabung tempat menyimpan tepung sagu basah. Sagu yang disimpan di balabba dapat bertahan hingga 3 bulan jika kelembabannya terjaga dengan baik. Balabba dengan diameter 50 cm dan tinggi maksimal 80 cm dapat berisi 15-40 kg sagu basah.
Sagu telah mewarnai kebudayaan masyarakat di Tana Luwu. Dari sekadar kebutuhan makanan pokok, hingga memengaruhi aktifitas ekonomi dan bahkan politik kewilayahan. Pada akhirnya, kita berharap komoditas ini tidak lagi menjadi daftar panjang artefak kebudayaan Luwu yang tak terlihat lagi wujudnya. Kita tidak ingin, sagu Luwu mengikuti jejak sagu Jawa yang kini hanya bisa dinikmati di relief-relief Candi Borobudur.
Di samping alasan diversifikasi dan ketahanan pangan, atas dasar latar budaya ini pula, menjadi patut-lah bagi kita untuk tetap menjaga lestarinya sagu di Tana Luwu. Sambe kini mungkin sudah termodifikasi menjadi perkakas yang lebih modern, dan balabba mungkin sudah berganti dengan tupperware, tapi citarasa kapurung berbahan dasar sagu, tak bisa tergantikan oleh sekadar tepung kanji, saudara!
Panjang umur, sagu Luwu…
—
Foto: http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2015/05/Sagu-2.jpg