Obituari HPA Tenriadjeng

Kepemimpinan HPA Tenriadjeng sepanjang lebih dari sepuluh tahun, tentu meninggalkan kenangan dan kesan bagi warga Palopo. Wafatnya beliau pada 16 Februari 2020 kemarin, yang kemudian diikuti dengan ramainya ucapan duka dan belasungkawa di lini masa media sosial, menyadarkan kita bahwa sosok Tenriadjeng masih hadir di hati warga Palopo.

Secara pribadi, saya tidak memiliki pengalaman panjang dan hubungan yang dekat dengan Tenriadjeng. Yang paling bisa diceritakan, mungkin foto di bawah ini saja, saat saya menerima hadiah dari beliau ketika menjadi juara satu lomba karya tulis. Kisah yang berkesan kedua, bisajadi adalah saat beliau membubuhkan tandatangan di atas SK CPNS saya ^_^. Selebihnya, saya adalah bawahan dan warga Palopo biasa, dan Tenriadjeng adalah wali kota saya, pemimpin kami.

Namun demikian, saya mengikuti kiprah Tenriadjeng sepanjang 10 tahun menjadi wali kota plus 1 tahun sebelumnya menjadi caretaker wali kota Palopo. Melalui media, dan mengamati dari jauh, setidaknya menurut saya, Tenriadjeng itu bisa digambarkan sebagai berikut:

1. Memimpin Secara Teknokratis. Tenriadjeng adalah manajer ulung yang dibentuk dari kedalaman pengetahuan dan pengalaman. Ia punya visi yang jelas tentang kota. Tampaknya ia mendeliver dengan baik Megatrend 2000 karya Naisbit yang sudah memperkirakan bangkitnya spiritualitas, berkembangnya sektor pariwisata, dan perubahan besar yang didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi. Paradigma ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang menempatkan dimensi religi sebagai pamungkas strategi 7 dimensi-nya; berkembangnya kawasan Pantai Labombo; dan meningkatnya investasi dan penetrasi jaringan telekomunikasi dan informasi di Palopo dibanding di daerah lain. Dalam urban management, Tenriadjeng bahkan menghadirkan Marco Kusumawijaya ke Palopo. Ia berguru pada ahli tata kota papan atas nasional. Hasilnya, Tenriadjeng mengelola Tempat Pembuangan Akhir Sampah dengan sangat baik, menghijaukan kota, membersihkan sungai, menata PKL, dan memulai pembangunan jalan lingkar.

2. Berjiwa Seni Tinggi. Tenriadjeng mewarisi bakat bangsawan-bangsawan Luwu yang memiliki apresiasi tinggi pada kesenian. Di masa kepemimpinan Tenridjeng, ragam hias singkerru dan motif panji diekspos ke khalayak. Ia mendorong penggunaan ragam hias khas Luwu ini sebagai identitas Palopo. Selain itu, ia juga mendorong lahirnya album lagu-lagu daerah khas Luwu. Puncaknya, ia membangun Gedung Kesenian sebagai pusat kegiatan seni dan industri kreatif.

3. Suka Mengapresiasi. Gayanya yang spontan memberi kesan yang semangat bagi siapa saja yang dihadapinya. Demikian pula saat upacara bendera. Hampir di setiap momen upacara, ia memberi apresiasi bagi petugas upacara yang tampil prima. Bukan hanya itu, peserta upacara yang paling rapi pun juga turut diapresiasi oleh Tenriadjeng. Kisah lain tentang pemberian reward bagi bawahannya bisa dilihat saat mengganjar jabatan eselon 3 kepada Pak Akram Risa di Dinas Pendidikan, Pemuda & Olahraga saat menjuarai Lomba Karya Nyata Tingkat Nasional.

4. Berjiwa Pembelajar. Tenriadjeng selalu berpesan untuk terus belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Saya pikir, itu bukan pepesan kosong belaka. Ia pun demikian halnya, terus belajar dan masih gemar membaca buku. Saat menjelang jabatannya berakhir, ia membawa sekitar 5 box koleksi bukunya ke depan peserta upacara bendera. Saat itu, buku-buku itu disumbangkan ke perpustakaan daerah. Sebelum sampai ke perpustakaan, saya sempat mengamankan 2 buah judul: Buku Kedatuan Luwu edisi 2, dan Global Paradox karya John Naisbit.

5. Nasionalis-Religius. Sepanjang kepemimpinannya, ia dekat dengan tokoh-tokoh dari beragam agama. Ia membangun majelis taklim secara masif, menginisiasi gerebek sahur, mewajibkan pesantren kilat dan lulus baca tulis alquran bagi ASN, mendorong kegiatan i’tikaf dan qiyamul lail di Masjid Agung Luwu Palopo, bahkan menyelenggarakan lomba tilawatil quran antar-lurah melalui handytalkie. Tenriadjeng juga tak canggung saat hadir natalan di gereja, menghadiri tahun baru saka di Pura Temmalebba, meresmikan vihara, serta merayakan imlek dengan warga keturunan Tiongkok.

Sayangnya, kepemimpinan beliau—yang penuh prestasi dan tidak jelek itu—berakhir dengan tidak softlanding. Tenriadjeng terjerat beberapa kasus korupsi yang diakuinya di depan persidangan. Bisajadi, hal inilah yang menjadi alasan sehingga edaran Pemerintah Kota Palopo terkait hari berkabung daerah saat beliau wafat, tidak dilakukan. Bagaimanapun memang, menurut saya, Tenriadjeng adalah produk pilkada langsung. Dan, praktik korupsi yang merupakan extraordinary crime adalah sebuah pengingkaran atas amanah warga negara. Kita kemudian melihat kisah HPA Tenriadjeng serupa dengan Tenriadjeng Senior. Pamornya sebagai pejuang Luwu yang penuh dengan kisah-kisah heroik dalam mempertahankan republik akhirnya memudar saat Tenriadjeng Senior bergabung dengan DI/TII. Ia tenggelam dalam kesunyian hutan belantara, sedangkan HPA Tenriadjeng menghabiskan masa tua di dalam penjara.

Namun, terlepas dari itu semua, satu teladan yang paling baik dari HPA Tenriadjeng adalah kemampuan beliau mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang mandiri. Sepanjang memimpin Palopo, tak pernah kita mendengar anak-anak beliau masuk dalam pusaran elit-elit partai, ikut dalam hiruk pikuk proyek pemerintah, dan mendapat previlege terkait pegawai negeri ataupun jabatan publik.

Saking tak pernahnya terkespose oleh media dan ketiadaan mereka muncul di depan publik, bisajadi kita sama sekali tidak kenal sama anak-anak beliau. Menurut saya, ini adalah sebuah pembelajaran berharga dari seorang HPA Tenriadjeng bagi generasi Palopo, dan bahkan rakyat Indonesia.

Semoga segala amal baik dan dedikasi Almarhum HPA Tenriadjeng dilipatgandakan oleh Allah SWT, diampuni dosa dan khilafnya, dimaafkan salahnya, dan diberi rahmat baginya. Amin.

Selamat jalan, Opu…

Tinggalkan komentar